Minggu, 23 Maret 2008

Gadie Berkerudung Pintal

Liat mengental
Penuh bau yang kukenal
Gadis berkerudung pintal
Menyemai ritual

Ah,
Bulir-bulir emas itu
Tergilas merata
Oleh mesin-mesin baja

Merubah ruah
Jadi surga dunia
Menepikan kisah,
Tengadah

Gadis berkerudung pintal
Kehilangan masa sakral
Nafas yang tersengal
Sisakan seribu sesal

Berjalan di malam
Teriring resah mendalam
Mengisi episode kelam
Yang tak berujung karam

Liat itu,
Tak lagi mengental
Bergelinjang binal

Gadis berkerudung pintal
Tak lagi kukenal

Menari...
Menari...
Dan terus menari
Mencari-cari
Penutup diri
Dari galau hati

Celah hati tiada terbuka lagi
Seribu dendam, meredam....

Liat itu,
Tak lagi mengental
Bergelinjang binal
Setitik harap
Terkesiap
Menatap
Sekejap

Ah,
Bulir-bulir emas tak lagi
Terpatri

Dan,
Masih perih...

Jumat, 21 Maret 2008

SAMAR

Teguhmu mulai memudar
hingga tak bisa kau lihat lagi
benang merah diantara kata-kataku

Malah kau tertawa. Sedihku
Apa aku telah menjadi mendung. Bagimu
Dan semakin samar. Bayangku

Tidak dulu saat-saat berdirimu
terletak aku di lenganmu
menjadi apimu

Lebih baik sudahi,
atau kembali
menarikku lagi
menjadi busur panahmu

Menimpas segala
yang sempat tersisa
Menghentak semua
yang sempat terlena

CEMAS

Beriak resah
Menggulung pelangi-pelangi itu
Patah-patah
Goyah…
Dan begitu jauh

Dimana sapamu
Saat kukeruh
Hanya dekat saat terpejam
Keluh…!

Setitik daya
Berlipat harap
Dapatkah kuandalkan
Tuk sekedar baringkan resah

Dan di dekatku
Bunga berdekap layu
Kering meretas

Seribu tanya
Seribu jawab
Tak berkehendak
Menepi di pinggir akalku.

Kamis, 20 Maret 2008

MALAM INI

Malam ini
Aku benar-benar
Menggigil
Ketakutan

Racun dalam tubuh
Terus menekanku
Menggetarkanku
Menggelapkanku

Sementara
Di luar sana
Pedang terhunus
Mengejarku terus

Berat kugerakkan kakiku
Hasrat terus memaksaku
Segala teriakku
Segala pedihku

Ingin segera kupergi
Jauh berlari
Dari bayang-bayang ini
Yang mempercepat aku mati

Dimana Tuhan
Saat aku seperti ini
Ataukah di sedang marah
Di sini

DINGIN

Sungguh dingin
ujung hati ini
menyentuh langit-langit malam
kaku
beku
sementara laron-laron itu
merayakan kemenangan
di dinding luar kamarku
riang bergelinjang
melayang…
di tembok samar
kubertahan
kugenggam nama Tuhan
menggigil risau
di ujung pisau
tersembelih galau

RAGA ITU

Itu raga. Ragamu
Itu raga. Kuasamu
Itu raga. Penuh madu
Ah…
Kau biarkan kemaluan-kemaluan itu
Mengoyak rusak. Ragamu
Itu raga. Ragamu
Itu raga. Mengucur peluh
Itu raga. Pesonamu
Ah…
Kau malah merayu
Melagu sedu
Tak jua jiwa cemburu

MAUT

Menyeluruh,
Badan retak bergerak
Mengatup,
Lidah tak bergerak
Apakah ruhku
Diinginkan malaikat maut?
Hilang sembilu di perut
Bersiap tak surut,
Juga tak takut
Menunggu ajal menjemput
Satu persatu,
Segala terpaut

Aku siap untukMU

SEPI MALAM

Di sini, di ruang in
sepi, sendiri…

Kuncup hati
bermekaran resah
Separuh badan berdiri
jengah menekan rasa

Di luar, mengumpat malam…
matahari yang cepat pergi
membagi mimpi-mimpi
di ujung para hayal

Mengapa tak kunjung datang
bintang di langit terang
agar teredam dendam

Aku masih di sini
pucat pasi,
dan tak bisa bertanya lagi

SANG PENGGODA

Wahai malam
Kenapa nyeri?

Goresan-goresan
Kemarin
Sisakan darah
Pun luka

Dan,
Dia terus menari
Tancapkan jemari tepat
Di jantung hati


Wahai dingin
Kenapa selalu ingin?

Desah nafasnya
Serak...
Beraroma
Cumbu rayu

Mendekapku...

Akh...
Dia terus meggoda
Sementara darah
Mendidih di dada

Wahai malam
Kenapa perih?

Lepasakan aku
Dari belenggumu

Balikpapan, Februari'08

Ragu???

BERSAMAMU BELUM PASTI TENANGKANKU
Paksakan egoku sungguh tiada guna
Pun percuma ku selalu marah
Karena kau tak juga mendengarnya

Keinginan tiada pernah terbatas
Pun tak pernah ada batas angan
Bersamamu mencari ketenangan
Merajut satu tujuan

Sungguh tak mudah bagiku,

Bersamamu sudah cukup
Cukup sudah....
Cukup sudah....
Cukup sudah!!!

Pun belum pasti nanti
Aku bersamamu
Bersamamu pun belum pasti
Bisa tenangkanku

Kunyanyikan saja sendiri
Di sini
Di tepi hati
Lagu penepis bayangmu

Pun belum pasti nanti
Aku bersamamu
Bersamamu pun belum pasti
Bisa tenangkanku

Kebahagiaan tak harus bersamamu
Pasti bisa kumencari sendiri
Meniti setiap mata hatiku ini
Menatap harap tenang jiwaku ini

TAJAMKAN MATA HATI

Tajamkanlah mata batinmu,
tuk melihat hitam putih hatimu
Kesampingkan sesaat ambisimu,
di titian ingin yang bersifat semu

Tak kan ada batas keinginan
Namun terbatas segala kebutuhan
Semua hanya akan menyiksa,
setiap langkah
Menghantui rasa tuk mendapatkannya

Bukan lagi kebahagiaan,
hakiki yang ada
Tapi ambisi abadi,
yang tak pernah tercapai

Akan terus mengejar...
Menyiksa...
Dan,
Tak dapat kau rasa..
Bahagia...

Peluh basahi tanah
Lunturkan warna warni tinta
Di setiap lembaran kertas putih
yang kau lukis tanpa kenal hari

Coba kau diam diri
Pejamkan mata hati
Dan terbangi lagi
Masa yang tlah kau lewati

Adakah setitik pencapaian rasa?
Atau hampa hingga batas akhir..!
Sadarkah engkau akan rubahnya raga?
Yang hilang dari alam fikir...!

Akan terus mengejar...
Menyiksa...
Dan,
Tak dapat kau rasa..
Bahagia...

Rabu, 19 Maret 2008

Ku Butuh Tuhan

Dalam keheningan...
Kurakit setiap sel urat
Lemaskan penat
Satu persatu kata
Terungkap erat
Kurangkai dalam kalimat

Aku butuh TUHAN!!!

Segala meresap
Segala kudekap

Segala menjadi damai
Tenang tiada getar lagi

Kuruncingkan tekad
Agar selalu melekat
Arti sebuah hakikat

Segala memuji
Penguasa jiwa raga ini

Segala terpancar
Segala terpencar

Balikpapan, Februari 2008

Tulisan Tuhan

Telah ditulis oleh Tuhan
Di antara sungai-sungai
Yang mengalir madu
Dari hulu
Hingga muara surga
Coba lihatlah;
Ia lepaskan
Dahaga
Setiap jiwa
Ia ingatkan
Yang lupa
Dengan keruhnya
Luruhnya
Derasnya
Mengoyak koyak!
Dalam perjalanannya

...jangan seperti tubuh ini...
Diam mematung
Bagai bangkai!!!!

About CINTA

Kaukah Itu

Sungguh sulit bagiku tuk mengenalimu
Yang bukan seperti dulu
Aku bukan manusia yang sempurna
Bisa membuatmu bahagia

Jadikanmu setinggi bintang
seindah malam purnama

Tapi,
Ku bisa teduhkan jiwamu
Dengan sentuhan cintaku

Perih jika engkau tak anggap lagi
Aku yang apa adanya

Perpisahan

Semakin berat menjalani
Jalinan kita ini
Semakin rapuh tergerus emosi
Saling benarkan diri

Tak terdengar lagi kisahmu
Tak kau dengar lagi ucapku
Tak penting lagi arti cinta
Dan semua cita-cita

Ambisimu mengoyak tautan kata
Yang manis pernah kau ucapkan
Janji-janji bersama, selamanya
Sungguh ini menyedihkan!

Selalu ada waktu untukmu tersenyum
Selalu kau luangkan mimpimu
sendirimu

Perpisahan...
Mungkin melepas belenggu beban
Yang sesakkan dada

Perpisahan...
Mungkin pilihan yang menyakitkan
Atau jawaban.

Selasa, 18 Maret 2008

Dari Kacamata

Dan…

Ketika falsafah tak lagi bermakna,
buram mata menatap realita
Saat bumi berusia senja,
panas sesakkan dada

Sangatlah panjang lolongan-lolongan anjing nestapa!
Tiada rupa. Pun warna

Dan…
mereka yang berkuasa,
dengan senjata berkata
dengan api membela
Dan…
mereka yang lemah,
menangis tanpa airmata
darah menjadi biasa
Dan…
entah dunia,
kapan menjadi rata
hilang tangis dan tawa


Lepas

hujan tak juah meredam
dingin buat aku tenggelam
telah kutampik mawar-mawar indah
dengan segala wanginya

sepi memagut
sepi kurenggut
menyeruak kisah
…tanpa makna!

ini warna hitam atau redup
atau sekalipun kelabu
ini raga mati atau hidup
terbujur diam, kaku layu

ah, ini salahku
tak tahu dalam tahuku


Salju

Tak henti-hentinya
salju lembut itu dihembuskan
meluruhkan kerak,
di kalbu yang mengetat

Tak henti-hentinya
cahaya putih itu disinarkan
menggerus pekat
separuh hati diselimutinya

Tak kunjung kembali
kesucian…
yang pernah mematri

Pun,
semakin keras membatu
semakin kuat kemudi
yang hasrat nahkodai

Entah,
kapan salju putih itu
mampu bekukan emosi


Ah….

Gelap segala ratap
Dingin segala senyap
Hangat pernah kudekap
Cahya pernah kutatap
Jauh pun kelam
Risau pada malam

Ah…
Sentuhanmu mengikatku
Sukmamu menahanku

Langkah kaki belum pasti
Menggonggong keras. Hati
Menjilat-jilat janji

Ah…
Kau tetap jauh
Terpasungku jenuh

Malam Hayal

Hujan di luar mengantarku
menemuimu di ruang hayal
dingin memutar, bagunkan aku
mengingat dekap yang kukenal
berarak iring tanda, warna mengental
berbaris indah kata, menipis akal
menggigilku...
singkap senyum yang terajut
tetes air seirama nadiku berdenyut
…dan malam semakin larut
orang teguh, bangun tahajud
relakan tidur. Bersujud
dan aku masih dalam selimut
menatap bayangmu yang tak jua menyambut

Puisi Takkan Mati

Surabya- September 2006

Blurr…

Desingan amarahmu
menyekap mata, pun telinga
menggigilkan para penakut
bertempik ria penyakit akut
Blurr…
Hancur!
Lebur!
Luruh
tak suruh
Gelap
kemudian mati
Tapi:
kenapa kain suci ini
kau bungkus rapi pada bangkai?


Sepi

Berjibaku dengan waktu
yang memagutku dalam sepi
yang tak terbatas tepi
Gemeretak
tampak retak
Serak!
Risau angin
pendam ingin
Tak pada malam
juga panas terik
pun suara gemerisik
Gelisah
hambarkan rasa
hantarkan rebah


Aku dan Anak Itu

Tubuh ini cukup kokoh
…tapi tak kuat menggendong
anak-anak itu
ke atas tumpukan padi yang menguning
yang ditetesi air bening

Mata ini cukup jelas
tuk memandang
…tapi hanya bisa menyaksikan
anak-anak itu
tak melawan dijilati
lalat-lalat yang lapar
diantara bibir yang retak

Jiwa ini masih handal
untuk melintasi titik-titik angkasa
…tapi tiada daya untuk memeluk jiwa
anak-anak itu
yang berjuang untuk bernafas
dengan sisa-sisa hawa yang panas

Apakah aku lumpuh
terasing dalam keheningan
terpejam dalam kekosongan
tersekap dalam kedinginan

Apakah aku rapuh
terpenggal oleh ketakpedulian
tertawa oleh tangisan
tertahan oleh pertanyaan

Kenapa Tuhan tidak menjatuhkan
biji-biji emas yang menggelayut
di atas langit anak-anak itu?

Atau bangsat-bangsat itu telah merampasnya?

Kenapa tak pernah aku jawab pertanyaan tentang anak-anak itu?



Diam

Kutilasi jejak malam
yang hilang melaun
ditikam biji-biji matahari

Kesucian semalam
yang terkoyak
meruah
tanpa batas
oleh mimpi-mimpi
yang tak bertepi

Lagi dimanakah aku?
tengadah, terpejam
ringan, tak melayang

Lagi dimanakah aku?
rapuh, mematung

Apakah aku
harus berdiri
di atas pedang yang terhunus?

Ataukah aku harus tidur
menunggu malaikat maut?

Aku hanya diam
tak kutemukan jawab
dan tak pula aku bicara


Batas Takdir

Aku adalah kepompong
yang lusuh berdebu
didekap asap, dipeluk dingin

Dulu…
Aku adalah ulat sutera
yang berkilau, dipuja

Bahkan aku bisa
tegakkan tubuh ini
menantang matahari

Tapi…
Aku dijatuhkan batas takdir
saat ini hanya asa tersisa
asa untuk bisa
melewati dimensi waktu
yang kembali merubahku
menjadi kupu-kupu
yang elok berwarna-warni
dan terbang diantara taman bunga
taman surga


Terjajah (I)

Bertelanjang dada, berikat kepala
mengepal tangan, kibarkan pusaka

Sesaat,
mereka terkapar
oleh popor senjata

Yatim dan janda
menambah angka
merambah derita

Kadang permata menjadi indah
pun memeras darah
Kadang airmata adalah petaka
pun menjadi biasa

Bukankah kekuatan cinta
bisa mengokohkan perdamaian
yang lebih kokoh dari tubuh kita
yang lebih kuat dari senjata

Apakah cinta telah hilang maknanya
oleh hati yang disetubuhi amarah
yang menghunus keserakahan
yang membelokkan kebenaran

Terjajah (II)

Mereka kehilangan
pagi, siang, dan malam
gemeretak rasa
menyeruak asa
terkubur airmata

Mereka ingin
bangun dari mimpi
mimpi buruk yang mengurung
di bungker-bungker
keterpaksaan

Mereka ingin
bersenandung nada
karena suara mereka indah
namun tersedak oleh ketakutan

Meriam, asap dan debu
menggelapkan harap
jauh dalam gelap

Dunia menyaksikan
Dunia mendengarkan
tapi apa yang bisa dunia lakukan??


Kamar Penghabisan

Ku terbelit
diantara resah dan dosa
hasrat terus menggerus dada
…dan engkau terus merayu

Hilang sudah
kata ‘jangan!’
semua berubah menjadi putih
kemudian memerah menyala

Aku telah lupa
siapa Aku
siapa Engkau
…dan engkau terus mencumbu

Kuberjuang dalam peluh
Engkau berkeringat mengaduh
Kusudahi semua
penghabisan yang buta
…dan engkau tak mengeluh

Kutergeletak tak berdaya
dikerumuni warna merah
yang kemudian menghitam

Suara tangismu menampar gelapku
kemudian kuterjaga
semua berlalu sudah
…dan aku kalah
melawan hasrat semu

Di sini
di kamar ini
Aku tak sendiri
bersama Engkau,
wahai Dosaku!


Sekarat

Aku adalah kepingan hidup
berlumut, berserakan
di balik sisa-sisa keriangan

Terlampau tinggi aku terbang
Terlampau keras aku ketawa

Dan saat itu…
tak mampu lagi kuberkepak
patah sayapku!
kuterjatuh, tersungkur

Kini…
aku menjadi bangkai
yang terkulai

Tak ada lagi tegur sapa
Tak ada lagi sahabat

Semua pergi!!

Dan kusendiri
terbujur takberdaya
dikafani kenangan lalu
terkubur dalam sejarah
dirajam mimpi semu

Kami Bernyanyi

Kami bernyanyi,
lirihkan kepedihan memanjang
Meski sembunyi,
kami tetap bernyanyi
Di atas tanah kami sendiri,
tertindas oleh saudara kami sendiri
Terlelap ditelanjang malam,
mengharap pagi segera datang
Terorok dalam peluh,
nafas yang terus mengaduh
Sedangkan mereka ,
berpesta pora
Menanam pundi-pundi emas,
di atas bangkai nenek moyang kami
Mereka berlomba,
bersilat kata
Berebut darah,
darah kami
Dan,
kami tetap bernyanyi
Entah,
sampai kapan kami mampu bernyanyi

DIDIEK

DIDIEK

Welcome to My Cyber World

Ruang semakin sempit, waktu semakin terbatas. Namun di ruang Diekdoc ini tak terbatas oleh tempat. Di sini adalah ruang berpikir. Nikmati setiap kata, kalimat dan gambar yang tak amat bagus ini.....