Surabya- September 2006
Blurr…
Desingan amarahmu
menyekap mata, pun telinga
menggigilkan para penakut
bertempik ria penyakit akut
Blurr…
Hancur!
Lebur!
Luruh
tak suruh
Gelap
kemudian mati
Tapi:
kenapa kain suci ini
kau bungkus rapi pada bangkai?
Sepi
Berjibaku dengan waktu
yang memagutku dalam sepi
yang tak terbatas tepi
Gemeretak
tampak retak
Serak!
Risau angin
pendam ingin
Tak pada malam
juga panas terik
pun suara gemerisik
Gelisah
hambarkan rasa
hantarkan rebah
Aku dan Anak Itu
Tubuh ini cukup kokoh
…tapi tak kuat menggendong
anak-anak itu
ke atas tumpukan padi yang menguning
yang ditetesi air bening
Mata ini cukup jelas
tuk memandang
…tapi hanya bisa menyaksikan
anak-anak itu
tak melawan dijilati
lalat-lalat yang lapar
diantara bibir yang retak
Jiwa ini masih handal
untuk melintasi titik-titik angkasa
…tapi tiada daya untuk memeluk jiwa
anak-anak itu
yang berjuang untuk bernafas
dengan sisa-sisa hawa yang panas
Apakah aku lumpuh
terasing dalam keheningan
terpejam dalam kekosongan
tersekap dalam kedinginan
Apakah aku rapuh
terpenggal oleh ketakpedulian
tertawa oleh tangisan
tertahan oleh pertanyaan
Kenapa Tuhan tidak menjatuhkan
biji-biji emas yang menggelayut
di atas langit anak-anak itu?
Atau bangsat-bangsat itu telah merampasnya?
Kenapa tak pernah aku jawab pertanyaan tentang anak-anak itu?
Diam
Kutilasi jejak malam
yang hilang melaun
ditikam biji-biji matahari
Kesucian semalam
yang terkoyak
meruah
tanpa batas
oleh mimpi-mimpi
yang tak bertepi
Lagi dimanakah aku?
tengadah, terpejam
ringan, tak melayang
Lagi dimanakah aku?
rapuh, mematung
Apakah aku
harus berdiri
di atas pedang yang terhunus?
Ataukah aku harus tidur
menunggu malaikat maut?
Aku hanya diam
tak kutemukan jawab
dan tak pula aku bicara
Batas Takdir
Aku adalah kepompong
yang lusuh berdebu
didekap asap, dipeluk dingin
Dulu…
Aku adalah ulat sutera
yang berkilau, dipuja
Bahkan aku bisa
tegakkan tubuh ini
menantang matahari
Tapi…
Aku dijatuhkan batas takdir
saat ini hanya asa tersisa
asa untuk bisa
melewati dimensi waktu
yang kembali merubahku
menjadi kupu-kupu
yang elok berwarna-warni
dan terbang diantara taman bunga
taman surga
Terjajah (I)
Bertelanjang dada, berikat kepala
mengepal tangan, kibarkan pusaka
Sesaat,
mereka terkapar
oleh popor senjata
Yatim dan janda
menambah angka
merambah derita
Kadang permata menjadi indah
pun memeras darah
Kadang airmata adalah petaka
pun menjadi biasa
Bukankah kekuatan cinta
bisa mengokohkan perdamaian
yang lebih kokoh dari tubuh kita
yang lebih kuat dari senjata
Apakah cinta telah hilang maknanya
oleh hati yang disetubuhi amarah
yang menghunus keserakahan
yang membelokkan kebenaran
Terjajah (II)
Mereka kehilangan
pagi, siang, dan malam
gemeretak rasa
menyeruak asa
terkubur airmata
Mereka ingin
bangun dari mimpi
mimpi buruk yang mengurung
di bungker-bungker
keterpaksaan
Mereka ingin
bersenandung nada
karena suara mereka indah
namun tersedak oleh ketakutan
Meriam, asap dan debu
menggelapkan harap
jauh dalam gelap
Dunia menyaksikan
Dunia mendengarkan
tapi apa yang bisa dunia lakukan??
Kamar Penghabisan
Ku terbelit
diantara resah dan dosa
hasrat terus menggerus dada
…dan engkau terus merayu
Hilang sudah
kata ‘jangan!’
semua berubah menjadi putih
kemudian memerah menyala
Aku telah lupa
siapa Aku
siapa Engkau
…dan engkau terus mencumbu
Kuberjuang dalam peluh
Engkau berkeringat mengaduh
Kusudahi semua
penghabisan yang buta
…dan engkau tak mengeluh
Kutergeletak tak berdaya
dikerumuni warna merah
yang kemudian menghitam
Suara tangismu menampar gelapku
kemudian kuterjaga
semua berlalu sudah
…dan aku kalah
melawan hasrat semu
Di sini
di kamar ini
Aku tak sendiri
bersama Engkau,
wahai Dosaku!
Sekarat
Aku adalah kepingan hidup
berlumut, berserakan
di balik sisa-sisa keriangan
Terlampau tinggi aku terbang
Terlampau keras aku ketawa
Dan saat itu…
tak mampu lagi kuberkepak
patah sayapku!
kuterjatuh, tersungkur
Kini…
aku menjadi bangkai
yang terkulai
Tak ada lagi tegur sapa
Tak ada lagi sahabat
Semua pergi!!
Dan kusendiri
terbujur takberdaya
dikafani kenangan lalu
terkubur dalam sejarah
dirajam mimpi semu
Kami Bernyanyi
Kami bernyanyi,
lirihkan kepedihan memanjang
Meski sembunyi,
kami tetap bernyanyi
Di atas tanah kami sendiri,
tertindas oleh saudara kami sendiri
Terlelap ditelanjang malam,
mengharap pagi segera datang
Terorok dalam peluh,
nafas yang terus mengaduh
Sedangkan mereka ,
berpesta pora
Menanam pundi-pundi emas,
di atas bangkai nenek moyang kami
Mereka berlomba,
bersilat kata
Berebut darah,
darah kami
Dan,
kami tetap bernyanyi
Entah,
sampai kapan kami mampu bernyanyi
Tidak ada komentar:
Posting Komentar