Selasa, 18 Maret 2008

Puisi Takkan Mati

Surabya- September 2006

Blurr…

Desingan amarahmu
menyekap mata, pun telinga
menggigilkan para penakut
bertempik ria penyakit akut
Blurr…
Hancur!
Lebur!
Luruh
tak suruh
Gelap
kemudian mati
Tapi:
kenapa kain suci ini
kau bungkus rapi pada bangkai?


Sepi

Berjibaku dengan waktu
yang memagutku dalam sepi
yang tak terbatas tepi
Gemeretak
tampak retak
Serak!
Risau angin
pendam ingin
Tak pada malam
juga panas terik
pun suara gemerisik
Gelisah
hambarkan rasa
hantarkan rebah


Aku dan Anak Itu

Tubuh ini cukup kokoh
…tapi tak kuat menggendong
anak-anak itu
ke atas tumpukan padi yang menguning
yang ditetesi air bening

Mata ini cukup jelas
tuk memandang
…tapi hanya bisa menyaksikan
anak-anak itu
tak melawan dijilati
lalat-lalat yang lapar
diantara bibir yang retak

Jiwa ini masih handal
untuk melintasi titik-titik angkasa
…tapi tiada daya untuk memeluk jiwa
anak-anak itu
yang berjuang untuk bernafas
dengan sisa-sisa hawa yang panas

Apakah aku lumpuh
terasing dalam keheningan
terpejam dalam kekosongan
tersekap dalam kedinginan

Apakah aku rapuh
terpenggal oleh ketakpedulian
tertawa oleh tangisan
tertahan oleh pertanyaan

Kenapa Tuhan tidak menjatuhkan
biji-biji emas yang menggelayut
di atas langit anak-anak itu?

Atau bangsat-bangsat itu telah merampasnya?

Kenapa tak pernah aku jawab pertanyaan tentang anak-anak itu?



Diam

Kutilasi jejak malam
yang hilang melaun
ditikam biji-biji matahari

Kesucian semalam
yang terkoyak
meruah
tanpa batas
oleh mimpi-mimpi
yang tak bertepi

Lagi dimanakah aku?
tengadah, terpejam
ringan, tak melayang

Lagi dimanakah aku?
rapuh, mematung

Apakah aku
harus berdiri
di atas pedang yang terhunus?

Ataukah aku harus tidur
menunggu malaikat maut?

Aku hanya diam
tak kutemukan jawab
dan tak pula aku bicara


Batas Takdir

Aku adalah kepompong
yang lusuh berdebu
didekap asap, dipeluk dingin

Dulu…
Aku adalah ulat sutera
yang berkilau, dipuja

Bahkan aku bisa
tegakkan tubuh ini
menantang matahari

Tapi…
Aku dijatuhkan batas takdir
saat ini hanya asa tersisa
asa untuk bisa
melewati dimensi waktu
yang kembali merubahku
menjadi kupu-kupu
yang elok berwarna-warni
dan terbang diantara taman bunga
taman surga


Terjajah (I)

Bertelanjang dada, berikat kepala
mengepal tangan, kibarkan pusaka

Sesaat,
mereka terkapar
oleh popor senjata

Yatim dan janda
menambah angka
merambah derita

Kadang permata menjadi indah
pun memeras darah
Kadang airmata adalah petaka
pun menjadi biasa

Bukankah kekuatan cinta
bisa mengokohkan perdamaian
yang lebih kokoh dari tubuh kita
yang lebih kuat dari senjata

Apakah cinta telah hilang maknanya
oleh hati yang disetubuhi amarah
yang menghunus keserakahan
yang membelokkan kebenaran

Terjajah (II)

Mereka kehilangan
pagi, siang, dan malam
gemeretak rasa
menyeruak asa
terkubur airmata

Mereka ingin
bangun dari mimpi
mimpi buruk yang mengurung
di bungker-bungker
keterpaksaan

Mereka ingin
bersenandung nada
karena suara mereka indah
namun tersedak oleh ketakutan

Meriam, asap dan debu
menggelapkan harap
jauh dalam gelap

Dunia menyaksikan
Dunia mendengarkan
tapi apa yang bisa dunia lakukan??


Kamar Penghabisan

Ku terbelit
diantara resah dan dosa
hasrat terus menggerus dada
…dan engkau terus merayu

Hilang sudah
kata ‘jangan!’
semua berubah menjadi putih
kemudian memerah menyala

Aku telah lupa
siapa Aku
siapa Engkau
…dan engkau terus mencumbu

Kuberjuang dalam peluh
Engkau berkeringat mengaduh
Kusudahi semua
penghabisan yang buta
…dan engkau tak mengeluh

Kutergeletak tak berdaya
dikerumuni warna merah
yang kemudian menghitam

Suara tangismu menampar gelapku
kemudian kuterjaga
semua berlalu sudah
…dan aku kalah
melawan hasrat semu

Di sini
di kamar ini
Aku tak sendiri
bersama Engkau,
wahai Dosaku!


Sekarat

Aku adalah kepingan hidup
berlumut, berserakan
di balik sisa-sisa keriangan

Terlampau tinggi aku terbang
Terlampau keras aku ketawa

Dan saat itu…
tak mampu lagi kuberkepak
patah sayapku!
kuterjatuh, tersungkur

Kini…
aku menjadi bangkai
yang terkulai

Tak ada lagi tegur sapa
Tak ada lagi sahabat

Semua pergi!!

Dan kusendiri
terbujur takberdaya
dikafani kenangan lalu
terkubur dalam sejarah
dirajam mimpi semu

Kami Bernyanyi

Kami bernyanyi,
lirihkan kepedihan memanjang
Meski sembunyi,
kami tetap bernyanyi
Di atas tanah kami sendiri,
tertindas oleh saudara kami sendiri
Terlelap ditelanjang malam,
mengharap pagi segera datang
Terorok dalam peluh,
nafas yang terus mengaduh
Sedangkan mereka ,
berpesta pora
Menanam pundi-pundi emas,
di atas bangkai nenek moyang kami
Mereka berlomba,
bersilat kata
Berebut darah,
darah kami
Dan,
kami tetap bernyanyi
Entah,
sampai kapan kami mampu bernyanyi

Tidak ada komentar:

DIDIEK

DIDIEK

Welcome to My Cyber World

Ruang semakin sempit, waktu semakin terbatas. Namun di ruang Diekdoc ini tak terbatas oleh tempat. Di sini adalah ruang berpikir. Nikmati setiap kata, kalimat dan gambar yang tak amat bagus ini.....