Tak pernah terpikirkan olehku
Apa yang menjadi pertanyaan
Tuk memahami irama
dari sebuah persahabatan
Kucoba ikuti lirik
Mengalir seiring detak jantung
Pahami diriku untuknya
Dan dirinya untukku
Kucari tahu apa yang ku tahu,
Kucari tahu apa yang tidak ku tahu
Tahu dalam tahuku
Dan tahu dalam ketidaktahuanku
Berat…
Jika harus kuhias
Untuk menyenangkan….
Hanya kepalsuan…..
Tak pernah terpikirkan olehku
Apa yang menjadi pertanyaan
Persahabatan penuh kesan
Kesan yang penuh kekuasaan
Hingga detik ini,
Ku masih penuh basa basi
Karena di sini semuanya basi…
Balikpapan, 20081208
Selasa, 09 Desember 2008
Rabu, 05 November 2008
Sebuah Pertanyaan
Ada sebuah pertanyaan yang diberikan kepada seorang remaja putri tentang hubungannya dengan lelaki. Pertanyan itu berupa kalimat pilihan, seperti;
1. Dalam hubungan kamu dinaikkan mobil tapi juga dinaiki oleh pacarmu, sedangkan suatu saat hubunganmu putus.
2. Dalam hubungan kamu dinaikkan mobil tapi juga dinaiki oleh pacarmu, sedangkan pada saat diresmikan tidak lagi naik mobil karena milik orangtuanya.
3. Dalam berhubungan kamu tidak dinaikkan mobil tapi kamu dinaiki, sedangkan suatu saat hubunganmu putus.
4. Dalam hubungan kamu tidak dinaikkan mobil tapi juga tidak dinaiki oleh pacarmu, sedangkan pada saat diresmikan kamu malah dinaikkan mobil.
Sang gadis pun bingung berpikir untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut. kalimat pertama hingga ketiga menurutnya tidak mengenakkan pihaknya. Dia pun pilih kalimat ketiga.
Namun kemudian dia mengatakan, dalam berhubungan dnegan seorang kekasih yang diutamakan adalah saling sayang. Banyak yang tidak berpikir akhir dari sebuah hubungan itu.
Hanya kata SAYANG!. Kata-kata itulah yang sering membuat orang lupa, gelap dan sebagainya. Hingga menyebabkan banyak gadis remaja yang harus rela kehilangan sebuah kehormatan karena tergoda materi, kata sayang dan egosi sesaat.
Tak banyak yang bisa dilakukan akibat sesuatu yang menurutnya sudah terlanjur mau diapakan lagi itu. Frustasi dengan berbagai tindakan pun akan dilakukan sebagai obat keterlanjuran itu.
Seorang teman pernah bercerita tentang seorang gadis yang dikencaninya. Dia masih sekolah di sebuah SMU di Balikpapan, Kaltim. Saat basa basi mengobrol sebelum menjurus ke perbuatan intim, sang gadis mengatakan jika dirinya belum pernah melakukan seks selain dengan pacarnya.
Terus kenapa sekarang mau? Tanya teman saya. Dia beralasan butuh uang untuk membeli HP BARU, baju baru dan untuk senang-senang.
Tidak takut ketahuan pacar? Dengan enteng dia mengaku kalau hubungan dengan pacarnya sudah renggang. Bahkan, saat ditelepon atau di sms tak pernah dihiraukan, terkesan menghindar.
Dia juga menuturkan jika selama ini tak ada yang diharapkan dari sang pacar untuk segi materi. Sedangkan teman-teman gaulnya banyak yang punya pacar berduit. “Lebih baik seklian seperti ini dari pada tidak punya apa-apa,” katanya tegas.
Sudah terlanjur. Kalimat itulah menjadi penutup obrolan pemanasan kedua insan yang bukan suami istri di sebuah hotel. Dan, masih banyak lagi kisah lain yang hampir sama alurnya. (*)
1. Dalam hubungan kamu dinaikkan mobil tapi juga dinaiki oleh pacarmu, sedangkan suatu saat hubunganmu putus.
2. Dalam hubungan kamu dinaikkan mobil tapi juga dinaiki oleh pacarmu, sedangkan pada saat diresmikan tidak lagi naik mobil karena milik orangtuanya.
3. Dalam berhubungan kamu tidak dinaikkan mobil tapi kamu dinaiki, sedangkan suatu saat hubunganmu putus.
4. Dalam hubungan kamu tidak dinaikkan mobil tapi juga tidak dinaiki oleh pacarmu, sedangkan pada saat diresmikan kamu malah dinaikkan mobil.
Sang gadis pun bingung berpikir untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut. kalimat pertama hingga ketiga menurutnya tidak mengenakkan pihaknya. Dia pun pilih kalimat ketiga.
Namun kemudian dia mengatakan, dalam berhubungan dnegan seorang kekasih yang diutamakan adalah saling sayang. Banyak yang tidak berpikir akhir dari sebuah hubungan itu.
Hanya kata SAYANG!. Kata-kata itulah yang sering membuat orang lupa, gelap dan sebagainya. Hingga menyebabkan banyak gadis remaja yang harus rela kehilangan sebuah kehormatan karena tergoda materi, kata sayang dan egosi sesaat.
Tak banyak yang bisa dilakukan akibat sesuatu yang menurutnya sudah terlanjur mau diapakan lagi itu. Frustasi dengan berbagai tindakan pun akan dilakukan sebagai obat keterlanjuran itu.
Seorang teman pernah bercerita tentang seorang gadis yang dikencaninya. Dia masih sekolah di sebuah SMU di Balikpapan, Kaltim. Saat basa basi mengobrol sebelum menjurus ke perbuatan intim, sang gadis mengatakan jika dirinya belum pernah melakukan seks selain dengan pacarnya.
Terus kenapa sekarang mau? Tanya teman saya. Dia beralasan butuh uang untuk membeli HP BARU, baju baru dan untuk senang-senang.
Tidak takut ketahuan pacar? Dengan enteng dia mengaku kalau hubungan dengan pacarnya sudah renggang. Bahkan, saat ditelepon atau di sms tak pernah dihiraukan, terkesan menghindar.
Dia juga menuturkan jika selama ini tak ada yang diharapkan dari sang pacar untuk segi materi. Sedangkan teman-teman gaulnya banyak yang punya pacar berduit. “Lebih baik seklian seperti ini dari pada tidak punya apa-apa,” katanya tegas.
Sudah terlanjur. Kalimat itulah menjadi penutup obrolan pemanasan kedua insan yang bukan suami istri di sebuah hotel. Dan, masih banyak lagi kisah lain yang hampir sama alurnya. (*)
Selasa, 12 Agustus 2008
Jangan Panggil AKU pelacur (1)
Tubuh ini…
Memang dikoyak ribuan kelamin-kelamin
Yang singgah entah dari mana
Tapi hati ini..
Kusangkutkan di dinding rumahku
Yang terbuat dari anyaman bambu
Jauh nun di sana
Kurajut dinding-dinding itu
Merubah menjadi besi beton
Berubin dan berkilau
Ku akui..
Bibir ini selalu tertawa
Seolah tiada tara
Tapi batin ini
Kutambatkan pada keriput ibuku
Yang setia menungguku pulang
Membawa gelang-gelang emas
Mencerabut hinaan setiap mata
Yang menatapnya
Sinis, hina
Tak kupungkiri..
Puting ini dijilat ribuan lelaki
Beraroma alkohol
Tapi jiwa ini berdesir pada bibir anakku
Yang merengek memohon susu
Yang tak berkedip matanya
Menatap anak sebanyanya
Memegang botol beraroma gurih
Jangan panggil aku pelacur!!!
Atau kamu yang melacurkan hati
Menjilat setiap janji
Pongahkan diri
Balikpapan, Agustus 2008
Memang dikoyak ribuan kelamin-kelamin
Yang singgah entah dari mana
Tapi hati ini..
Kusangkutkan di dinding rumahku
Yang terbuat dari anyaman bambu
Jauh nun di sana
Kurajut dinding-dinding itu
Merubah menjadi besi beton
Berubin dan berkilau
Ku akui..
Bibir ini selalu tertawa
Seolah tiada tara
Tapi batin ini
Kutambatkan pada keriput ibuku
Yang setia menungguku pulang
Membawa gelang-gelang emas
Mencerabut hinaan setiap mata
Yang menatapnya
Sinis, hina
Tak kupungkiri..
Puting ini dijilat ribuan lelaki
Beraroma alkohol
Tapi jiwa ini berdesir pada bibir anakku
Yang merengek memohon susu
Yang tak berkedip matanya
Menatap anak sebanyanya
Memegang botol beraroma gurih
Jangan panggil aku pelacur!!!
Atau kamu yang melacurkan hati
Menjilat setiap janji
Pongahkan diri
Balikpapan, Agustus 2008
Minggu, 23 Maret 2008
Gadie Berkerudung Pintal
Liat mengental
Penuh bau yang kukenal
Gadis berkerudung pintal
Menyemai ritual
Ah,
Bulir-bulir emas itu
Tergilas merata
Oleh mesin-mesin baja
Merubah ruah
Jadi surga dunia
Menepikan kisah,
Tengadah
Gadis berkerudung pintal
Kehilangan masa sakral
Nafas yang tersengal
Sisakan seribu sesal
Berjalan di malam
Teriring resah mendalam
Mengisi episode kelam
Yang tak berujung karam
Liat itu,
Tak lagi mengental
Bergelinjang binal
Gadis berkerudung pintal
Tak lagi kukenal
Menari...
Menari...
Dan terus menari
Mencari-cari
Penutup diri
Dari galau hati
Celah hati tiada terbuka lagi
Seribu dendam, meredam....
Liat itu,
Tak lagi mengental
Bergelinjang binal
Setitik harap
Terkesiap
Menatap
Sekejap
Ah,
Bulir-bulir emas tak lagi
Terpatri
Dan,
Masih perih...
Penuh bau yang kukenal
Gadis berkerudung pintal
Menyemai ritual
Ah,
Bulir-bulir emas itu
Tergilas merata
Oleh mesin-mesin baja
Merubah ruah
Jadi surga dunia
Menepikan kisah,
Tengadah
Gadis berkerudung pintal
Kehilangan masa sakral
Nafas yang tersengal
Sisakan seribu sesal
Berjalan di malam
Teriring resah mendalam
Mengisi episode kelam
Yang tak berujung karam
Liat itu,
Tak lagi mengental
Bergelinjang binal
Gadis berkerudung pintal
Tak lagi kukenal
Menari...
Menari...
Dan terus menari
Mencari-cari
Penutup diri
Dari galau hati
Celah hati tiada terbuka lagi
Seribu dendam, meredam....
Liat itu,
Tak lagi mengental
Bergelinjang binal
Setitik harap
Terkesiap
Menatap
Sekejap
Ah,
Bulir-bulir emas tak lagi
Terpatri
Dan,
Masih perih...
Jumat, 21 Maret 2008
SAMAR
Teguhmu mulai memudar
hingga tak bisa kau lihat lagi
benang merah diantara kata-kataku
Malah kau tertawa. Sedihku
Apa aku telah menjadi mendung. Bagimu
Dan semakin samar. Bayangku
Tidak dulu saat-saat berdirimu
terletak aku di lenganmu
menjadi apimu
Lebih baik sudahi,
atau kembali
menarikku lagi
menjadi busur panahmu
Menimpas segala
yang sempat tersisa
Menghentak semua
yang sempat terlena
hingga tak bisa kau lihat lagi
benang merah diantara kata-kataku
Malah kau tertawa. Sedihku
Apa aku telah menjadi mendung. Bagimu
Dan semakin samar. Bayangku
Tidak dulu saat-saat berdirimu
terletak aku di lenganmu
menjadi apimu
Lebih baik sudahi,
atau kembali
menarikku lagi
menjadi busur panahmu
Menimpas segala
yang sempat tersisa
Menghentak semua
yang sempat terlena
CEMAS
Beriak resah
Menggulung pelangi-pelangi itu
Patah-patah
Goyah…
Dan begitu jauh
Dimana sapamu
Saat kukeruh
Hanya dekat saat terpejam
Keluh…!
Setitik daya
Berlipat harap
Dapatkah kuandalkan
Tuk sekedar baringkan resah
Dan di dekatku
Bunga berdekap layu
Kering meretas
Seribu tanya
Seribu jawab
Tak berkehendak
Menepi di pinggir akalku.
Menggulung pelangi-pelangi itu
Patah-patah
Goyah…
Dan begitu jauh
Dimana sapamu
Saat kukeruh
Hanya dekat saat terpejam
Keluh…!
Setitik daya
Berlipat harap
Dapatkah kuandalkan
Tuk sekedar baringkan resah
Dan di dekatku
Bunga berdekap layu
Kering meretas
Seribu tanya
Seribu jawab
Tak berkehendak
Menepi di pinggir akalku.
Kamis, 20 Maret 2008
MALAM INI
Malam ini
Aku benar-benar
Menggigil
Ketakutan
Racun dalam tubuh
Terus menekanku
Menggetarkanku
Menggelapkanku
Sementara
Di luar sana
Pedang terhunus
Mengejarku terus
Berat kugerakkan kakiku
Hasrat terus memaksaku
Segala teriakku
Segala pedihku
Ingin segera kupergi
Jauh berlari
Dari bayang-bayang ini
Yang mempercepat aku mati
Dimana Tuhan
Saat aku seperti ini
Ataukah di sedang marah
Di sini
Aku benar-benar
Menggigil
Ketakutan
Racun dalam tubuh
Terus menekanku
Menggetarkanku
Menggelapkanku
Sementara
Di luar sana
Pedang terhunus
Mengejarku terus
Berat kugerakkan kakiku
Hasrat terus memaksaku
Segala teriakku
Segala pedihku
Ingin segera kupergi
Jauh berlari
Dari bayang-bayang ini
Yang mempercepat aku mati
Dimana Tuhan
Saat aku seperti ini
Ataukah di sedang marah
Di sini
DINGIN
Sungguh dingin
ujung hati ini
menyentuh langit-langit malam
kaku
beku
sementara laron-laron itu
merayakan kemenangan
di dinding luar kamarku
riang bergelinjang
melayang…
di tembok samar
kubertahan
kugenggam nama Tuhan
menggigil risau
di ujung pisau
tersembelih galau
ujung hati ini
menyentuh langit-langit malam
kaku
beku
sementara laron-laron itu
merayakan kemenangan
di dinding luar kamarku
riang bergelinjang
melayang…
di tembok samar
kubertahan
kugenggam nama Tuhan
menggigil risau
di ujung pisau
tersembelih galau
RAGA ITU
Itu raga. Ragamu
Itu raga. Kuasamu
Itu raga. Penuh madu
Ah…
Kau biarkan kemaluan-kemaluan itu
Mengoyak rusak. Ragamu
Itu raga. Ragamu
Itu raga. Mengucur peluh
Itu raga. Pesonamu
Ah…
Kau malah merayu
Melagu sedu
Tak jua jiwa cemburu
Itu raga. Kuasamu
Itu raga. Penuh madu
Ah…
Kau biarkan kemaluan-kemaluan itu
Mengoyak rusak. Ragamu
Itu raga. Ragamu
Itu raga. Mengucur peluh
Itu raga. Pesonamu
Ah…
Kau malah merayu
Melagu sedu
Tak jua jiwa cemburu
MAUT
Menyeluruh,
Badan retak bergerak
Mengatup,
Lidah tak bergerak
Apakah ruhku
Diinginkan malaikat maut?
Hilang sembilu di perut
Bersiap tak surut,
Juga tak takut
Menunggu ajal menjemput
Satu persatu,
Segala terpaut
Aku siap untukMU
Badan retak bergerak
Mengatup,
Lidah tak bergerak
Apakah ruhku
Diinginkan malaikat maut?
Hilang sembilu di perut
Bersiap tak surut,
Juga tak takut
Menunggu ajal menjemput
Satu persatu,
Segala terpaut
Aku siap untukMU
SEPI MALAM
Di sini, di ruang in
sepi, sendiri…
Kuncup hati
bermekaran resah
Separuh badan berdiri
jengah menekan rasa
Di luar, mengumpat malam…
matahari yang cepat pergi
membagi mimpi-mimpi
di ujung para hayal
Mengapa tak kunjung datang
bintang di langit terang
agar teredam dendam
Aku masih di sini
pucat pasi,
dan tak bisa bertanya lagi
sepi, sendiri…
Kuncup hati
bermekaran resah
Separuh badan berdiri
jengah menekan rasa
Di luar, mengumpat malam…
matahari yang cepat pergi
membagi mimpi-mimpi
di ujung para hayal
Mengapa tak kunjung datang
bintang di langit terang
agar teredam dendam
Aku masih di sini
pucat pasi,
dan tak bisa bertanya lagi
SANG PENGGODA
Wahai malam
Kenapa nyeri?
Goresan-goresan
Kemarin
Sisakan darah
Pun luka
Dan,
Dia terus menari
Tancapkan jemari tepat
Di jantung hati
Wahai dingin
Kenapa selalu ingin?
Desah nafasnya
Serak...
Beraroma
Cumbu rayu
Mendekapku...
Akh...
Dia terus meggoda
Sementara darah
Mendidih di dada
Wahai malam
Kenapa perih?
Lepasakan aku
Dari belenggumu
Balikpapan, Februari'08
Kenapa nyeri?
Goresan-goresan
Kemarin
Sisakan darah
Pun luka
Dan,
Dia terus menari
Tancapkan jemari tepat
Di jantung hati
Wahai dingin
Kenapa selalu ingin?
Desah nafasnya
Serak...
Beraroma
Cumbu rayu
Mendekapku...
Akh...
Dia terus meggoda
Sementara darah
Mendidih di dada
Wahai malam
Kenapa perih?
Lepasakan aku
Dari belenggumu
Balikpapan, Februari'08
Ragu???
BERSAMAMU BELUM PASTI TENANGKANKU
Paksakan egoku sungguh tiada guna
Pun percuma ku selalu marah
Karena kau tak juga mendengarnya
Keinginan tiada pernah terbatas
Pun tak pernah ada batas angan
Bersamamu mencari ketenangan
Merajut satu tujuan
Sungguh tak mudah bagiku,
Bersamamu sudah cukup
Cukup sudah....
Cukup sudah....
Cukup sudah!!!
Pun belum pasti nanti
Aku bersamamu
Bersamamu pun belum pasti
Bisa tenangkanku
Kunyanyikan saja sendiri
Di sini
Di tepi hati
Lagu penepis bayangmu
Pun belum pasti nanti
Aku bersamamu
Bersamamu pun belum pasti
Bisa tenangkanku
Kebahagiaan tak harus bersamamu
Pasti bisa kumencari sendiri
Meniti setiap mata hatiku ini
Menatap harap tenang jiwaku ini
TAJAMKAN MATA HATI
Tajamkanlah mata batinmu,
tuk melihat hitam putih hatimu
Kesampingkan sesaat ambisimu,
di titian ingin yang bersifat semu
Tak kan ada batas keinginan
Namun terbatas segala kebutuhan
Semua hanya akan menyiksa,
setiap langkah
Menghantui rasa tuk mendapatkannya
Bukan lagi kebahagiaan,
hakiki yang ada
Tapi ambisi abadi,
yang tak pernah tercapai
Akan terus mengejar...
Menyiksa...
Dan,
Tak dapat kau rasa..
Bahagia...
Peluh basahi tanah
Lunturkan warna warni tinta
Di setiap lembaran kertas putih
yang kau lukis tanpa kenal hari
Coba kau diam diri
Pejamkan mata hati
Dan terbangi lagi
Masa yang tlah kau lewati
Adakah setitik pencapaian rasa?
Atau hampa hingga batas akhir..!
Sadarkah engkau akan rubahnya raga?
Yang hilang dari alam fikir...!
Akan terus mengejar...
Menyiksa...
Dan,
Tak dapat kau rasa..
Bahagia...
Paksakan egoku sungguh tiada guna
Pun percuma ku selalu marah
Karena kau tak juga mendengarnya
Keinginan tiada pernah terbatas
Pun tak pernah ada batas angan
Bersamamu mencari ketenangan
Merajut satu tujuan
Sungguh tak mudah bagiku,
Bersamamu sudah cukup
Cukup sudah....
Cukup sudah....
Cukup sudah!!!
Pun belum pasti nanti
Aku bersamamu
Bersamamu pun belum pasti
Bisa tenangkanku
Kunyanyikan saja sendiri
Di sini
Di tepi hati
Lagu penepis bayangmu
Pun belum pasti nanti
Aku bersamamu
Bersamamu pun belum pasti
Bisa tenangkanku
Kebahagiaan tak harus bersamamu
Pasti bisa kumencari sendiri
Meniti setiap mata hatiku ini
Menatap harap tenang jiwaku ini
TAJAMKAN MATA HATI
Tajamkanlah mata batinmu,
tuk melihat hitam putih hatimu
Kesampingkan sesaat ambisimu,
di titian ingin yang bersifat semu
Tak kan ada batas keinginan
Namun terbatas segala kebutuhan
Semua hanya akan menyiksa,
setiap langkah
Menghantui rasa tuk mendapatkannya
Bukan lagi kebahagiaan,
hakiki yang ada
Tapi ambisi abadi,
yang tak pernah tercapai
Akan terus mengejar...
Menyiksa...
Dan,
Tak dapat kau rasa..
Bahagia...
Peluh basahi tanah
Lunturkan warna warni tinta
Di setiap lembaran kertas putih
yang kau lukis tanpa kenal hari
Coba kau diam diri
Pejamkan mata hati
Dan terbangi lagi
Masa yang tlah kau lewati
Adakah setitik pencapaian rasa?
Atau hampa hingga batas akhir..!
Sadarkah engkau akan rubahnya raga?
Yang hilang dari alam fikir...!
Akan terus mengejar...
Menyiksa...
Dan,
Tak dapat kau rasa..
Bahagia...
Rabu, 19 Maret 2008
Ku Butuh Tuhan
Dalam keheningan...
Kurakit setiap sel urat
Lemaskan penat
Satu persatu kata
Terungkap erat
Kurangkai dalam kalimat
Aku butuh TUHAN!!!
Segala meresap
Segala kudekap
Segala menjadi damai
Tenang tiada getar lagi
Kuruncingkan tekad
Agar selalu melekat
Arti sebuah hakikat
Segala memuji
Penguasa jiwa raga ini
Segala terpancar
Segala terpencar
Balikpapan, Februari 2008
Kurakit setiap sel urat
Lemaskan penat
Satu persatu kata
Terungkap erat
Kurangkai dalam kalimat
Aku butuh TUHAN!!!
Segala meresap
Segala kudekap
Segala menjadi damai
Tenang tiada getar lagi
Kuruncingkan tekad
Agar selalu melekat
Arti sebuah hakikat
Segala memuji
Penguasa jiwa raga ini
Segala terpancar
Segala terpencar
Balikpapan, Februari 2008
Tulisan Tuhan
Telah ditulis oleh Tuhan
Di antara sungai-sungai
Yang mengalir madu
Dari hulu
Hingga muara surga
Coba lihatlah;
Ia lepaskan
Dahaga
Setiap jiwa
Ia ingatkan
Yang lupa
Dengan keruhnya
Luruhnya
Derasnya
Mengoyak koyak!
Dalam perjalanannya
...jangan seperti tubuh ini...
Diam mematung
Bagai bangkai!!!!
Di antara sungai-sungai
Yang mengalir madu
Dari hulu
Hingga muara surga
Coba lihatlah;
Ia lepaskan
Dahaga
Setiap jiwa
Ia ingatkan
Yang lupa
Dengan keruhnya
Luruhnya
Derasnya
Mengoyak koyak!
Dalam perjalanannya
...jangan seperti tubuh ini...
Diam mematung
Bagai bangkai!!!!
About CINTA
Kaukah Itu
Sungguh sulit bagiku tuk mengenalimu
Yang bukan seperti dulu
Aku bukan manusia yang sempurna
Bisa membuatmu bahagia
Jadikanmu setinggi bintang
seindah malam purnama
Tapi,
Ku bisa teduhkan jiwamu
Dengan sentuhan cintaku
Perih jika engkau tak anggap lagi
Aku yang apa adanya
Perpisahan
Semakin berat menjalani
Jalinan kita ini
Semakin rapuh tergerus emosi
Saling benarkan diri
Tak terdengar lagi kisahmu
Tak kau dengar lagi ucapku
Tak penting lagi arti cinta
Dan semua cita-cita
Ambisimu mengoyak tautan kata
Yang manis pernah kau ucapkan
Janji-janji bersama, selamanya
Sungguh ini menyedihkan!
Selalu ada waktu untukmu tersenyum
Selalu kau luangkan mimpimu
sendirimu
Perpisahan...
Mungkin melepas belenggu beban
Yang sesakkan dada
Perpisahan...
Mungkin pilihan yang menyakitkan
Atau jawaban.
Sungguh sulit bagiku tuk mengenalimu
Yang bukan seperti dulu
Aku bukan manusia yang sempurna
Bisa membuatmu bahagia
Jadikanmu setinggi bintang
seindah malam purnama
Tapi,
Ku bisa teduhkan jiwamu
Dengan sentuhan cintaku
Perih jika engkau tak anggap lagi
Aku yang apa adanya
Perpisahan
Semakin berat menjalani
Jalinan kita ini
Semakin rapuh tergerus emosi
Saling benarkan diri
Tak terdengar lagi kisahmu
Tak kau dengar lagi ucapku
Tak penting lagi arti cinta
Dan semua cita-cita
Ambisimu mengoyak tautan kata
Yang manis pernah kau ucapkan
Janji-janji bersama, selamanya
Sungguh ini menyedihkan!
Selalu ada waktu untukmu tersenyum
Selalu kau luangkan mimpimu
sendirimu
Perpisahan...
Mungkin melepas belenggu beban
Yang sesakkan dada
Perpisahan...
Mungkin pilihan yang menyakitkan
Atau jawaban.
Selasa, 18 Maret 2008
Dari Kacamata
Dan…
Ketika falsafah tak lagi bermakna,
buram mata menatap realita
Saat bumi berusia senja,
panas sesakkan dada
Sangatlah panjang lolongan-lolongan anjing nestapa!
Tiada rupa. Pun warna
Dan…
mereka yang berkuasa,
dengan senjata berkata
dengan api membela
Dan…
mereka yang lemah,
menangis tanpa airmata
darah menjadi biasa
Dan…
entah dunia,
kapan menjadi rata
hilang tangis dan tawa
Lepas
hujan tak juah meredam
dingin buat aku tenggelam
telah kutampik mawar-mawar indah
dengan segala wanginya
sepi memagut
sepi kurenggut
menyeruak kisah
…tanpa makna!
ini warna hitam atau redup
atau sekalipun kelabu
ini raga mati atau hidup
terbujur diam, kaku layu
ah, ini salahku
tak tahu dalam tahuku
Salju
Tak henti-hentinya
salju lembut itu dihembuskan
meluruhkan kerak,
di kalbu yang mengetat
Tak henti-hentinya
cahaya putih itu disinarkan
menggerus pekat
separuh hati diselimutinya
Tak kunjung kembali
kesucian…
yang pernah mematri
Pun,
semakin keras membatu
semakin kuat kemudi
yang hasrat nahkodai
Entah,
kapan salju putih itu
mampu bekukan emosi
Ah….
Gelap segala ratap
Dingin segala senyap
Hangat pernah kudekap
Cahya pernah kutatap
Jauh pun kelam
Risau pada malam
Ah…
Sentuhanmu mengikatku
Sukmamu menahanku
Langkah kaki belum pasti
Menggonggong keras. Hati
Menjilat-jilat janji
Ah…
Kau tetap jauh
Terpasungku jenuh
Malam Hayal
Hujan di luar mengantarku
menemuimu di ruang hayal
dingin memutar, bagunkan aku
mengingat dekap yang kukenal
berarak iring tanda, warna mengental
berbaris indah kata, menipis akal
menggigilku...
singkap senyum yang terajut
tetes air seirama nadiku berdenyut
…dan malam semakin larut
orang teguh, bangun tahajud
relakan tidur. Bersujud
dan aku masih dalam selimut
menatap bayangmu yang tak jua menyambut
Ketika falsafah tak lagi bermakna,
buram mata menatap realita
Saat bumi berusia senja,
panas sesakkan dada
Sangatlah panjang lolongan-lolongan anjing nestapa!
Tiada rupa. Pun warna
Dan…
mereka yang berkuasa,
dengan senjata berkata
dengan api membela
Dan…
mereka yang lemah,
menangis tanpa airmata
darah menjadi biasa
Dan…
entah dunia,
kapan menjadi rata
hilang tangis dan tawa
Lepas
hujan tak juah meredam
dingin buat aku tenggelam
telah kutampik mawar-mawar indah
dengan segala wanginya
sepi memagut
sepi kurenggut
menyeruak kisah
…tanpa makna!
ini warna hitam atau redup
atau sekalipun kelabu
ini raga mati atau hidup
terbujur diam, kaku layu
ah, ini salahku
tak tahu dalam tahuku
Salju
Tak henti-hentinya
salju lembut itu dihembuskan
meluruhkan kerak,
di kalbu yang mengetat
Tak henti-hentinya
cahaya putih itu disinarkan
menggerus pekat
separuh hati diselimutinya
Tak kunjung kembali
kesucian…
yang pernah mematri
Pun,
semakin keras membatu
semakin kuat kemudi
yang hasrat nahkodai
Entah,
kapan salju putih itu
mampu bekukan emosi
Ah….
Gelap segala ratap
Dingin segala senyap
Hangat pernah kudekap
Cahya pernah kutatap
Jauh pun kelam
Risau pada malam
Ah…
Sentuhanmu mengikatku
Sukmamu menahanku
Langkah kaki belum pasti
Menggonggong keras. Hati
Menjilat-jilat janji
Ah…
Kau tetap jauh
Terpasungku jenuh
Malam Hayal
Hujan di luar mengantarku
menemuimu di ruang hayal
dingin memutar, bagunkan aku
mengingat dekap yang kukenal
berarak iring tanda, warna mengental
berbaris indah kata, menipis akal
menggigilku...
singkap senyum yang terajut
tetes air seirama nadiku berdenyut
…dan malam semakin larut
orang teguh, bangun tahajud
relakan tidur. Bersujud
dan aku masih dalam selimut
menatap bayangmu yang tak jua menyambut
Puisi Takkan Mati
Surabya- September 2006
Blurr…
Desingan amarahmu
menyekap mata, pun telinga
menggigilkan para penakut
bertempik ria penyakit akut
Blurr…
Hancur!
Lebur!
Luruh
tak suruh
Gelap
kemudian mati
Tapi:
kenapa kain suci ini
kau bungkus rapi pada bangkai?
Sepi
Berjibaku dengan waktu
yang memagutku dalam sepi
yang tak terbatas tepi
Gemeretak
tampak retak
Serak!
Risau angin
pendam ingin
Tak pada malam
juga panas terik
pun suara gemerisik
Gelisah
hambarkan rasa
hantarkan rebah
Aku dan Anak Itu
Tubuh ini cukup kokoh
…tapi tak kuat menggendong
anak-anak itu
ke atas tumpukan padi yang menguning
yang ditetesi air bening
Mata ini cukup jelas
tuk memandang
…tapi hanya bisa menyaksikan
anak-anak itu
tak melawan dijilati
lalat-lalat yang lapar
diantara bibir yang retak
Jiwa ini masih handal
untuk melintasi titik-titik angkasa
…tapi tiada daya untuk memeluk jiwa
anak-anak itu
yang berjuang untuk bernafas
dengan sisa-sisa hawa yang panas
Apakah aku lumpuh
terasing dalam keheningan
terpejam dalam kekosongan
tersekap dalam kedinginan
Apakah aku rapuh
terpenggal oleh ketakpedulian
tertawa oleh tangisan
tertahan oleh pertanyaan
Kenapa Tuhan tidak menjatuhkan
biji-biji emas yang menggelayut
di atas langit anak-anak itu?
Atau bangsat-bangsat itu telah merampasnya?
Kenapa tak pernah aku jawab pertanyaan tentang anak-anak itu?
Diam
Kutilasi jejak malam
yang hilang melaun
ditikam biji-biji matahari
Kesucian semalam
yang terkoyak
meruah
tanpa batas
oleh mimpi-mimpi
yang tak bertepi
Lagi dimanakah aku?
tengadah, terpejam
ringan, tak melayang
Lagi dimanakah aku?
rapuh, mematung
Apakah aku
harus berdiri
di atas pedang yang terhunus?
Ataukah aku harus tidur
menunggu malaikat maut?
Aku hanya diam
tak kutemukan jawab
dan tak pula aku bicara
Batas Takdir
Aku adalah kepompong
yang lusuh berdebu
didekap asap, dipeluk dingin
Dulu…
Aku adalah ulat sutera
yang berkilau, dipuja
Bahkan aku bisa
tegakkan tubuh ini
menantang matahari
Tapi…
Aku dijatuhkan batas takdir
saat ini hanya asa tersisa
asa untuk bisa
melewati dimensi waktu
yang kembali merubahku
menjadi kupu-kupu
yang elok berwarna-warni
dan terbang diantara taman bunga
taman surga
Terjajah (I)
Bertelanjang dada, berikat kepala
mengepal tangan, kibarkan pusaka
Sesaat,
mereka terkapar
oleh popor senjata
Yatim dan janda
menambah angka
merambah derita
Kadang permata menjadi indah
pun memeras darah
Kadang airmata adalah petaka
pun menjadi biasa
Bukankah kekuatan cinta
bisa mengokohkan perdamaian
yang lebih kokoh dari tubuh kita
yang lebih kuat dari senjata
Apakah cinta telah hilang maknanya
oleh hati yang disetubuhi amarah
yang menghunus keserakahan
yang membelokkan kebenaran
Terjajah (II)
Mereka kehilangan
pagi, siang, dan malam
gemeretak rasa
menyeruak asa
terkubur airmata
Mereka ingin
bangun dari mimpi
mimpi buruk yang mengurung
di bungker-bungker
keterpaksaan
Mereka ingin
bersenandung nada
karena suara mereka indah
namun tersedak oleh ketakutan
Meriam, asap dan debu
menggelapkan harap
jauh dalam gelap
Dunia menyaksikan
Dunia mendengarkan
tapi apa yang bisa dunia lakukan??
Kamar Penghabisan
Ku terbelit
diantara resah dan dosa
hasrat terus menggerus dada
…dan engkau terus merayu
Hilang sudah
kata ‘jangan!’
semua berubah menjadi putih
kemudian memerah menyala
Aku telah lupa
siapa Aku
siapa Engkau
…dan engkau terus mencumbu
Kuberjuang dalam peluh
Engkau berkeringat mengaduh
Kusudahi semua
penghabisan yang buta
…dan engkau tak mengeluh
Kutergeletak tak berdaya
dikerumuni warna merah
yang kemudian menghitam
Suara tangismu menampar gelapku
kemudian kuterjaga
semua berlalu sudah
…dan aku kalah
melawan hasrat semu
Di sini
di kamar ini
Aku tak sendiri
bersama Engkau,
wahai Dosaku!
Sekarat
Aku adalah kepingan hidup
berlumut, berserakan
di balik sisa-sisa keriangan
Terlampau tinggi aku terbang
Terlampau keras aku ketawa
Dan saat itu…
tak mampu lagi kuberkepak
patah sayapku!
kuterjatuh, tersungkur
Kini…
aku menjadi bangkai
yang terkulai
Tak ada lagi tegur sapa
Tak ada lagi sahabat
Semua pergi!!
Dan kusendiri
terbujur takberdaya
dikafani kenangan lalu
terkubur dalam sejarah
dirajam mimpi semu
Kami Bernyanyi
Kami bernyanyi,
lirihkan kepedihan memanjang
Meski sembunyi,
kami tetap bernyanyi
Di atas tanah kami sendiri,
tertindas oleh saudara kami sendiri
Terlelap ditelanjang malam,
mengharap pagi segera datang
Terorok dalam peluh,
nafas yang terus mengaduh
Sedangkan mereka ,
berpesta pora
Menanam pundi-pundi emas,
di atas bangkai nenek moyang kami
Mereka berlomba,
bersilat kata
Berebut darah,
darah kami
Dan,
kami tetap bernyanyi
Entah,
sampai kapan kami mampu bernyanyi
Blurr…
Desingan amarahmu
menyekap mata, pun telinga
menggigilkan para penakut
bertempik ria penyakit akut
Blurr…
Hancur!
Lebur!
Luruh
tak suruh
Gelap
kemudian mati
Tapi:
kenapa kain suci ini
kau bungkus rapi pada bangkai?
Sepi
Berjibaku dengan waktu
yang memagutku dalam sepi
yang tak terbatas tepi
Gemeretak
tampak retak
Serak!
Risau angin
pendam ingin
Tak pada malam
juga panas terik
pun suara gemerisik
Gelisah
hambarkan rasa
hantarkan rebah
Aku dan Anak Itu
Tubuh ini cukup kokoh
…tapi tak kuat menggendong
anak-anak itu
ke atas tumpukan padi yang menguning
yang ditetesi air bening
Mata ini cukup jelas
tuk memandang
…tapi hanya bisa menyaksikan
anak-anak itu
tak melawan dijilati
lalat-lalat yang lapar
diantara bibir yang retak
Jiwa ini masih handal
untuk melintasi titik-titik angkasa
…tapi tiada daya untuk memeluk jiwa
anak-anak itu
yang berjuang untuk bernafas
dengan sisa-sisa hawa yang panas
Apakah aku lumpuh
terasing dalam keheningan
terpejam dalam kekosongan
tersekap dalam kedinginan
Apakah aku rapuh
terpenggal oleh ketakpedulian
tertawa oleh tangisan
tertahan oleh pertanyaan
Kenapa Tuhan tidak menjatuhkan
biji-biji emas yang menggelayut
di atas langit anak-anak itu?
Atau bangsat-bangsat itu telah merampasnya?
Kenapa tak pernah aku jawab pertanyaan tentang anak-anak itu?
Diam
Kutilasi jejak malam
yang hilang melaun
ditikam biji-biji matahari
Kesucian semalam
yang terkoyak
meruah
tanpa batas
oleh mimpi-mimpi
yang tak bertepi
Lagi dimanakah aku?
tengadah, terpejam
ringan, tak melayang
Lagi dimanakah aku?
rapuh, mematung
Apakah aku
harus berdiri
di atas pedang yang terhunus?
Ataukah aku harus tidur
menunggu malaikat maut?
Aku hanya diam
tak kutemukan jawab
dan tak pula aku bicara
Batas Takdir
Aku adalah kepompong
yang lusuh berdebu
didekap asap, dipeluk dingin
Dulu…
Aku adalah ulat sutera
yang berkilau, dipuja
Bahkan aku bisa
tegakkan tubuh ini
menantang matahari
Tapi…
Aku dijatuhkan batas takdir
saat ini hanya asa tersisa
asa untuk bisa
melewati dimensi waktu
yang kembali merubahku
menjadi kupu-kupu
yang elok berwarna-warni
dan terbang diantara taman bunga
taman surga
Terjajah (I)
Bertelanjang dada, berikat kepala
mengepal tangan, kibarkan pusaka
Sesaat,
mereka terkapar
oleh popor senjata
Yatim dan janda
menambah angka
merambah derita
Kadang permata menjadi indah
pun memeras darah
Kadang airmata adalah petaka
pun menjadi biasa
Bukankah kekuatan cinta
bisa mengokohkan perdamaian
yang lebih kokoh dari tubuh kita
yang lebih kuat dari senjata
Apakah cinta telah hilang maknanya
oleh hati yang disetubuhi amarah
yang menghunus keserakahan
yang membelokkan kebenaran
Terjajah (II)
Mereka kehilangan
pagi, siang, dan malam
gemeretak rasa
menyeruak asa
terkubur airmata
Mereka ingin
bangun dari mimpi
mimpi buruk yang mengurung
di bungker-bungker
keterpaksaan
Mereka ingin
bersenandung nada
karena suara mereka indah
namun tersedak oleh ketakutan
Meriam, asap dan debu
menggelapkan harap
jauh dalam gelap
Dunia menyaksikan
Dunia mendengarkan
tapi apa yang bisa dunia lakukan??
Kamar Penghabisan
Ku terbelit
diantara resah dan dosa
hasrat terus menggerus dada
…dan engkau terus merayu
Hilang sudah
kata ‘jangan!’
semua berubah menjadi putih
kemudian memerah menyala
Aku telah lupa
siapa Aku
siapa Engkau
…dan engkau terus mencumbu
Kuberjuang dalam peluh
Engkau berkeringat mengaduh
Kusudahi semua
penghabisan yang buta
…dan engkau tak mengeluh
Kutergeletak tak berdaya
dikerumuni warna merah
yang kemudian menghitam
Suara tangismu menampar gelapku
kemudian kuterjaga
semua berlalu sudah
…dan aku kalah
melawan hasrat semu
Di sini
di kamar ini
Aku tak sendiri
bersama Engkau,
wahai Dosaku!
Sekarat
Aku adalah kepingan hidup
berlumut, berserakan
di balik sisa-sisa keriangan
Terlampau tinggi aku terbang
Terlampau keras aku ketawa
Dan saat itu…
tak mampu lagi kuberkepak
patah sayapku!
kuterjatuh, tersungkur
Kini…
aku menjadi bangkai
yang terkulai
Tak ada lagi tegur sapa
Tak ada lagi sahabat
Semua pergi!!
Dan kusendiri
terbujur takberdaya
dikafani kenangan lalu
terkubur dalam sejarah
dirajam mimpi semu
Kami Bernyanyi
Kami bernyanyi,
lirihkan kepedihan memanjang
Meski sembunyi,
kami tetap bernyanyi
Di atas tanah kami sendiri,
tertindas oleh saudara kami sendiri
Terlelap ditelanjang malam,
mengharap pagi segera datang
Terorok dalam peluh,
nafas yang terus mengaduh
Sedangkan mereka ,
berpesta pora
Menanam pundi-pundi emas,
di atas bangkai nenek moyang kami
Mereka berlomba,
bersilat kata
Berebut darah,
darah kami
Dan,
kami tetap bernyanyi
Entah,
sampai kapan kami mampu bernyanyi
Langganan:
Postingan (Atom)
DIDIEK

Welcome to My Cyber World
Ruang semakin sempit, waktu semakin terbatas. Namun di ruang Diekdoc ini tak terbatas oleh tempat. Di sini adalah ruang berpikir. Nikmati setiap kata, kalimat dan gambar yang tak amat bagus ini.....